Tragis, pilu, dan kegilaan yang sangat mendalam adalah tiga kata yang mungkin dirasakan penikmat film joker (2019) ini. . Terbukti pada minggu pertama sejak penayangan perdananya, film garapan todd phillips ini berhasil meraup keuntungan mencapai USD 234 Juta [1]. Bagaimana tidak, film yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix berhasil membawa karakter ini dalam dunia gelapnya. Film ini menggambarkan secara detail tentang prince of crime yang merupakan musuh bebuyutan batman. Di dalam film ini, joker digambarkan sebagai sosok pria yang mengalami Pseudobulbar affect atau PBA. Lalu apa PBA itu?
Pseudobobulbar affect atau PBA adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan tangis atau tawa yang tidak terkontrol dan terjadi tidak sesuai dengan kondisi emosional pasien saat terjadi. Sehingga pasien bisa tertawa atau menangis walaupun kondisi mood nya sedang baik baik saja [2]. PBA diyakini terjadi sebagai akibat gangguan pada jalur neurologis yang mengatur ekspresi emosional, seperti myotrophic lateral sclerosis (ALS), Parkinson’s disease, multiple system atrophy, progressive supranuclear palsy, multiple sclerosis (MS), traumatic brain injury, Alzheimer’s disease, stroke, serta tumor otak.
Sampai saat ini mekanisme terjadinya PBA ini masih belum jelas. Namun dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa PBA diakibatkan oleh kurangnya kontrol volunteer. Bagian otak yang dianggap paling berperan pada proses ini adalah cerebellum. Satu hipotesis adalah bahwa otak kecil memainkan peran kunci dalam modulasi respons emosional agar tetap sesuai dengan situasi sosial dan suasana hati pasien berdasarkan masukan dari korteks serebri. Gangguan sirkuit corticopontine–cerebellar mengakibatkan gangguan modulasi serebelar ini, menyebabkan PBA [3]. Terapi yang digunakan pada penderita PBA ini adalah untuk mengurangi keparahan dan frekuensi terjadinya gejala yang ditimbulkan.
Sumber rujukan :
[1] H. Endriana, “Gensindo,” Sindo News, 7 October 2019. [Online]. Available: https://gensindo.sindonews.com/read/795/1/jumlah-penonton-joker-melebihi-ekspektasi-termasuk-di-indonesia-1570421446. [Accessed 11 october 2019].
[2] J. Parvizi, K. L. Coburn, S. D. Shillcutt, E. Coffey, E. C. Lauterbach and M. F. Mendez, “Neuroanatomy of pathological laughing and crying: a report of the American Neuropsychiatric Association Committee on Research,” Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, vol. I, no. 21, pp. 75-87, 2009.
[3] A. Miller , H. Pratt and R. B. Schiffer, “seudobulbar affect: the spectrum of clinical presentations, etiologies and treatments,” Expert Review of Neurotherapeutics, vol. VII, no. 11, pp. 1077-1088, 2011.
[4] E. P. Pioro, “ Current concepts in the pharmacotherapy of pseudobulbar Affect,” Drugs, vol. IX, no. 71, pp. 1193-1207, 2011.
Penulis : Mukhammad Arif Hadi Khoiruddin (172010101009)