COVID-19 atau coronavirus disease-19 semakin hari semakin banyak ditemukan di Indonesia. Saat ini, sudah hampir seluruh kabupaten kota memiliki kasus terkonfirmasi positif, dan sudah menyebar ke 34 provinsi se-Indonesia. Perkembangan yang begitu cepat, menuntut proses diagnostik yang semakin cepat pula. Oleh karena itu, saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam proses diagnostik dan skrining pasien.
Saat ini, metode diagnostik yang menjadi gold standar adalah pemeriksaan RT-PCR. Metode ini dapat melacak keberadaan virus dengan metode amplifikasi strain RNA. Sebagai baku emas pemeriksaan covid-19, pemeriksaan RT-PCR ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan ini adalah positif, negatif, atau inkonklusif. Positif berarti terdapat strain virus pada sampel yang diuji, negatif berarti tidak ditemukan strain virus, sedangkan inkonklusif berarti masih meragukan dan perlu melakukan pemeriksaan ulang.
Selain pemeriksaan dengan menggunakan RT-PCR, berkembang pula pemeriksaan serologi berbasis antigen dan antibodi. Pemeriksaan serologi ini belum dapat digunakan untuk mendiagnosis Covid-19, hanya digunakan untuk skrining. Pemeriksaan serologi menggunakan metode antigen adalah dengan mendeteksi antigen virus yang masuk, sedangkan metode antibodi adalah dengan mendeteksi antibodi yang terbentuk dari hasil respon imun terhadap antigen. Hasil tes yang akan didapatkan apabila melakukan tes serologi adalah reaktif dan non reaktif, baik untuk IgM maupun IgG. Karena pemeriksaan ini dapat memberikan hasil false negative yang cukup tinggi (sensitivitas <70%), maka apabila hasil non reaktif harus dilakukan pengulangan, dan apabila hasilnya reaktif, masih harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR. Oleh karena itu, hasil dari rapid-test harus diiinterpretasikan oleh dokter spesialis yang berwenang, dalam hal ini adalah spesialis patologi klinik.
Pemeriksaan rapid test menggunakan uji serologi antibodi merupakan jenis pemeriksaan skrining yang paling lazim ditemui saat ini. Hal ini dikarenakan pemerintah menggunakan metode ini untuk skrining massal dan persyaratan berbagai surat perjalanan. Oleh karena itu, pada webinar kali ini dijelaskan tentang berbagai pemeriksaan untuk Covid-19 terutama rapid test.
Antusiasme yang luar biasa dari masyarakat dengan tema kali ini, sehingga peserta yang mendaftar mencapai 1200 peserta. Berbagai pertanyaan juga muncul, terutama terkait mitos-mitos tentang covid-19 dan virus SARS-Cov2, serta tentang pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit ini. Terdapat beberapa pertanyaan dari attandies yang belum bisa terjawab selama acara karena keterbatasan waktu, kami akan coba menjawab beberapa pertanyaan yang masih berhubungan dengan tema.
1. Apa saja kriteria dan persiapan sebelum pemeriksaan rapid test?
Tidak ada kriteria khusus, namun pemeriksaan rapid test ini diprioritaskan untuk :
a. Orang Tanpa Gejala (OTG), yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi positif
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pemantauan (PDP) yang tidak memiliki fasilitas untuk pemeriksaan RT PCR atau tidak memiliki media pengambilan spesimen.
Sebelum dilakukan pemeriksaan, pastikan pasien sudah mengisi formulir pendaftaran pemeriksaan, dan sudah dilakukan inform consent oleh petugas medis terkait.
2. Kapan dapat dilakukan pemeriksaan rapid test, dan kapan perlu melakukan pengulangan?
Jika pasien merupakan OTG/ODP/PDP yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan PCR, atau tidak ada riwayat paparan sebelumnya dan ingin melakukan pemeriksaan secara mandiri, maka pemeriksaan bisa dilakukan sesegera mungkin. Jika hasil reaktif maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR. Jika non reaktif dapat diulang 10 hari kemudian. Bagan alur pemeriksaan dapat dilihat di Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Covid-19 Revisi 4 (Link).
3. Bagaimana membaca hasil rapid test?
Setelah dilakukan pemeriksaan rapid test, pasien akan mendapatkan hasil berupa : Reaktif atau Non reaktif, baik untuk IgM atau pun IgG. IgM Reaktif menandakan adanya infeksi akut, yang masih memiliki potensi menularkan. Sedangkan IgG reaktif menunjukkan paparan infeksi yg lebih lama. Jika IgM Non Reaktif sedangkan IgG Reaktif, menunjukkan pasien sudah pernah terpapar oleh virus Corona, namun bukan kondisi yang baru. Hasil seperti ini, tetap harus dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan swab test. Jika hasil swab test dengan PCR menunjukkan hasil negatif, kemungkinan pasien dalam kondisi pemulihan dan tidak menularkan. Selama masa menunggu hasil konfirmasi, pasien tetap harus melakukan karantina mandiri: Selengkapnya dapat kembali membaca materi webinar 5 (link) atau simak videonya disini (link youtube)
4. Apa perbedaan rapid test dengan antigen dengan antibodi? Apakah rapid test antigen dapat menggantikan PCR?
Pemeriksaan serologi menggunakan antigen adalah salah satu jenis tes diagnostik cepat (RDT). Mekanisme pemeriksaan ini adalah dengan mendeteksi adanya protein virus (antigen) COVID-19 pada sampel dari saluran pernapasan seseorang. Jika konsentrasi antigen sasaran pada sampel cukup, antigen tersebut akan mengikat antibodi tertentu yang terdapat pada strip kertas terbungkus plastik dan akan menghasilkan tandavisual, biasanya dalam waktu 30 menit. Antigen yang terdeteksi hanya bisa diekspresikan saat virus aktif bereplikasi. Oleh karena itu, tes ini paling baik digunakan untuk mengidentifikasi infeksi pada fase akut atau tahap awal infeksi. Pemeriksan ini tidak dapat menggantikan RT-PCR yang merupakan gold standar/pemeriksaan baku emas untuk Covid-19 karena memiliki sensitivitas yang sangat bervariasi, dari 34%-81%. WHO juga tidak merekomendasikan untuk menggunakan pemeriksaan ini sebagai alat diagnostik, sedangkan untuk skrining dan penulusuran epidemiologi, WHO lebih merekomendasikan menggunakan rapid test antibodi.
5. Terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan penemuan virus SARSCov2 pada feses. Kapan perlu dilakukan pemeriksaan RT-PCR dari swab feses, dan bagaimana kelebihan dan kekurangannya?
Pemeriksaan RT-PCR dengan sampel feses pasien yang terkonfirmasi COVID-19, menghasilkan hasil positif sebanyak 36–53%. Apabila dibandingkan dengan sampel swab tenggorok, sampel feses positif 2–5 hari setelah pengambilan swab tenggorok. Sebaliknya, sekitar 23–82% pasien tetap menunjukkan hasil sampel feses positif meskipun sampel swab tenggorok sudah negatif, dengan rata-rata hari pemeriksaan adalah 3–20 hari. (https://www.alomedika.com/pemeriksaan-skrining-covid-19-untuk-pasien-sebelum-operasi). Untuk saat ini, pemeriksaan swab feses untuk RT PCR belum rutin dilakukan di Indonesia, dan mungkin perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien COVID yang memiliki keluhan gastrointestinal.
6. Apa perbedaan pemeriksaan TCM yg saat ini banyak dikerjakan dengan pemeriksaan RT PCR? Bagaimana sensitivitas dan spesifitasnya?
TCM atau Tes Cepat Molekuler merupakan salah satu metode tes cepat berbasis molekuler. Metode ini merupakan modifikasi dari RT PCR, sehingga waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan ini menjadi lebih singkat. Untuk sensitivitas dan spesifitas sama dengan RT PCR, specimen yang digunakan pun sama, yaitu swab nasofaring, orofaring, atau sputum.
Semoga dengan webinar kali ini, dapat membantu memberikan informasi dan edukasi yang benar kepada masyarakat.
Ditulis oleh dr. Elvia Rahmi MP